Isnin, 12 Mac 2012

relakanlah walaupon terpaksa...

semoga kisah ini dapat memberikan kita iktibar... hidup ini perlu dilalui... semoga kesabaran dan ketabahan itu milik kita semua... insyaallah...

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor
Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi
pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan
istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat
bersyukur karena Lukman dan Naila mahu hadir menjadi saksi. Umurku sudah
menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami
sederhana, ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.
Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri,
kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna,
maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih
merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk
kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib
kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mahu menerima kami. Ya
sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka.
Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke
lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti
mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, "Iya
sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang
pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin
rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai,
boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa
semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari
pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek
minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mahu anaknya
jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.
"Nanti kalau sudah besar, Iya mahu jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka
dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling
tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang
sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
"Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di
rumah saja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku
tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di
tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan
menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku
berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan
"Iyaaaa". Sebuah teruk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban
besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah
diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti
pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku
mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania
menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia
bola!"

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk
ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai
banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa
berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan
atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya
dia memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu
hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus
mempersiapkan uang untuk Kamila masuk sampai. Anakku memang pintar dia
loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar
Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,
menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu
dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala
kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila
hidup tegar.

10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam
kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku
cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalau kere ya kelaut saja." Mungkin
itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak
marah walau tak urung menangis juga. Sabar ya, Nak!" hiburku. "Pak, Iya
pakai jilbab saja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku
menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam
dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya.
Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu
tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku
karena sekolahnya hanya terlambat di bangku sampai.

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui
pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin
bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan
itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma
lulusan sampai. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang
aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat.
Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal.
Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk
menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di
sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi
Kamila tidak suka dengan laki laki yang disebutnya datuk. Matanya tak
pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya
itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin
pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini
dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang
mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang,
aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan
untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti
setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat
hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati
daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai. Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia
terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku
menangis. Aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula Kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum
dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku
gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati
andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus
menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa
selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah
nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik. Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah
kuatkan aku.

Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin
aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua
matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya
kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur
ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar. Aku ingin menggantikannya.

"Kenapa, Ya, Kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mahu. Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan
dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba
dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa,
istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia
kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk
memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mahu. Sia-sia
aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada
wanita itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di
belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan
dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan
'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah
yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka. Aku mendengar
langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan
tersenyum sini. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar
oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.

"Kania?"
"Mas Har, kau ... !"
"Kau . kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"

"Iya? Dia..dia ... Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.

"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."

"Tidak . tidaaak. ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang
tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri
Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu
dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku
baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku
tahu. Aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia
mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.
Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,
"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang
pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya
kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah
begitu Iya sayang?


Tiada ulasan:

Catat Ulasan